Senin, 22 Desember 2014

Masih Tentang Puasa

Pernah ga sih terpikir oleh sahabat daway sekalian. mengapa yahh ko puasa cuma siang doang? kalo malem ngga?? kira-kira ada yang tau ga guys ???

Oke dehh,, kalo gada yang tauu.. aku kasih tauu nih. ditinjau berdasarkan pandangan ilmiah... selamat Membaca... :)

MENGAPA PUASA HANYA SIANG HARI???

karena >>>>>>>>>>
1. puasa tanpa Autolisis aau Self Digest sama saja tidak puasa
2. Sistem hormon memerintahkan tubuh untuk istirahat dimalam hari >>>>>
    > walaupun sepanjang malam kita tidak berpuasa, namun energi yang dibutuhkan saat tidur sangatlah sedikit, sehingga tidak sempat terjadi autolisis
3. Aktivitas normal di siang hari, mempercepat aktivitas Autolisis >>>>> aktivitas di siang hari membutuhkan energi lebih banyak, sehingga memungkinkan dan mempercepat aktifnya proses autolisis atau self digest.
4. bila berpuasa kurang dari 9 jam. karena guys, kalo malem kan waktunya berasa cepet yahh... makanya puasa itu harus siang >>>> maka energi mkanan masih tersdia dan program autolisis belum diaktifkan
sahurlah menjelang subuh dan segeralah berbuka >>>>> puasa sebaiknya dilakukan pada siang hari selama 14-15 jam, dan agar tidak melebihi 15 jam guys, maka ahurlah menjelang shubuh dan segeralah berbuka ketika masuk waktu maghrib
4. jika berpuasa selama 16 jam atau lebih akan menimbulkan menurunnya kesehatan tubuh dengan menimbulkan gejala muntah, koma, tidak berfungsinya hati, melemahnya otot tubuh dan otot jantung dan hipoglikemia (sangat rendahnya kandugan glikogen dalam darah).




Nahh,, semoga bermanfaat yahh guys,, :)

Mengapa Puasa Harus Diawali dengan Niat

Mengapa yah ketika orang hendak berpuasa harus diawali dengan niat? penasaran??
berikut akan saya bahas mengenai dibalik biatnya berpuasa.


Selamat Membaca.....!!!! :)

Inilah alasannya, mengapa ketika kita hendak berpuasa dianjurkan untuk berniat terlebih dahulu. 

Saat berniat puasa, maka otak akan mengambi alih komando. kenapa yahh???
ü Jawabannya adalah karena otak menyatakan bahwa kita tidak perlu makan karena puasa
2.      Bila lapar, maka otak memerintahkan untuk menjalankanprogram autolysis (Self Digest).  Seperti ini nih guys, bila Glikogen dalam darah rendah, maka otak memberi perintah untuk menjalankan program autolysis. Autolisis yaitu sistem automatisasi dalam tubuh yang memformat ulang kondisi tubuh ke kondisi ideal. Autolisis mengerti bagaimana seharusnya kondisi sehat dari setiap jenis sel, dibagian tubuh mana seharusnya sel itu berada, dan berapa banyak jumlah dari tiap jenis sel yang ideal bagi tubuh. Seharusnya ia akan menghampiri sel-sel liar yang tidak terdapat dalam daftar fithrah, mengubah asam amino dan gula. Bila sel-sel liar habis, ia akan mendatangi timbunan lemak dalam tubuh dan membakar (oksidasi lemak) menjadi keton. Dengan demikian Autolisis akan menghilangkan sel-sel rusak, mati dan BENJOLAN TUMOR serta timbunan lemak yang sering menjadi sarang zat beracun.
Sel-sel liar dan lemak yang telah dihancurkan akan dibawa ke Hati. Saat kita puasa, hati tidak disibukkan oleh hasil serapan dari Usus. Oleh karena itu hati akan bekerja penuh menyaring RACUN-RACUN hasil AUTOLISIS. Selanjutnya RACUN akan dibuang keluar tubuh. Disinilah proses DETOKSIFIKASI (penghilangan racun) terjadi.
Ketika berpuasa darah juga akan dipenuhi energi dan nutrisi yang sehat dan berkualitas tinggi, sehingga penggantian sel mati, perbaikan sel rusak, dan pembentukan sel baru, terjadi dengan kualitas prima.. Tubuh kita segera memiliki sel-sel baru dengan kualitas fithrah, sehat dan berfungsi baik kembali. Ketika kita berpuasa, energi yang dihemat dari sistem pencernaan, akan digunakan untuk aktifitas sistem kekebalan tubuh dan proses berpikir oleh otak. Oleh karena itu dengan puasa penyakit lebih mudah disembuhkan dan kita lebih mudah menerima pelajaran maupun saat berpikir.
Namun dibalik semua itu, rahasia kemampuan autolisis terletak pada niat. Autolisis hanya akan aktif bila kadar glicogen darah berkurang dan otak menyimpulkan kita lapar dan harus makan namun kita berniat tidak makan alias BERPUASA. Autolisis tidak akan terjadi ketika tidak niat berpuasa. Ini salah satu RAHASIA besar berpuasa...

Adalagi nih guys, kalo kita puasa tapi ga niat. Ada akibatnya loh bagi tubuh kita. Mau tau???? Siap menyimak kan??? Let’s Go >>>>>>

Bila tidak niat puasa, akan terkena maag. Lohh kenapa yah?? Kan puasa itu padahal bagus. Ini dia guys alasannya.
a.       Ketika lapar, mulut akan mengeluarkan air liur, lambung mengeluarkan asam lambung, hati dan pancreas mengeluarkan enzim pengurai, dan otot-otot usus sudah melakukan pemanasan untuk proses penyerapan nutrisi da otak otak tidak mengintervensinya, karena ga niat.
b.      Bila setelah persiapanorgan tersebut kita tidak makan, karena asyik membaca, atau bermain, maka zat-zat kimia yang sudah diciptakan tersebut dapat merusak organ-organ pencernaan kita, perut akan terasa sakit melilit dan bias terkena maag.

Nahhh,, makanya saat lapar, tidak ada makanan, atau belum sempat makan berniatlah puasa agar terhindarkan dari maag. Emang bias yahh???? Yaiya bias dong guys…. Niih alasannya : dengan niat, maka hipotalamus tidak memerintahkan makan, dan otak segera menghidupkan program autolysis dan kita jadi berenergi kembali, dpat terus berkonsentrasi dan produktif menyelesaikan tugas. Nah,, jadi guys.. tidak ada alas an yahh,, kalo lgagi puasaa bawaannya males alias lemes…!!


Kamis, 18 Desember 2014

The Culture Of Banten

Hay,, sahabat Daway,, tauu ga nihh ? salah satu budaya yang ada di Banten yaitu suku Baduy.
Yuukk kita intip coretan inih. agar pengetahuan kita nambah... harus tauu lohhh budaya yang ada di Indonesia apalagi dengan daerahnya sendirii..
Selamat menikmati.. :)

Baduy Of Banten

Yah... salah satu suku yang ada di daerah Banten sejak dahulu yaitu Baduy. Suku Baduy yangterkenal dengan kekonsistenannya pada kepercayaan dari dulu hingga sekarang. Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam merupakan mayarakat Baduy yang masih taat memegang kpercayaanya dan belum terkontaminasi dengan kebudayaan-kebudayaan yang lainnya bahkan baduy dalam masih memegang teguh menjaga kelestarian alam. Masyarakat fdari luar tidak dapat menjadi anggota baduy dalam, tetapi masyarakatbaduy dalam bisa keluar dan tidak akan diterima kembali menjadi penduduk baduy dalam jka sudah melanggar aturan dan kepercayaan yang dipercayainya.berbedadengan Baduy Luar yang sudah mengikuti arus zaman modern,mereka sudah banyak yang menganut agama Islam dan sudahmengenal teknologi yang sedang berkembang. 

Asal-Usul Baduy
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. 

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.

Kepercayaan
 Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).

Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani. karena beratus-ratus tahun mereka dekat dengan alam. 



Selasa, 16 Desember 2014

Tugas Orasi



Katanya Universitas Negeri Satu-Satunya di Banten ???
Menjadi universitas negeri bukanlah hal yang mudah dan penuh perjuangan. Bukan hal yang asing dan fana. Saat ini, satu-satunya uiversitas negeri di Banten masih tertinggal jauh dengan universitas-universitas negeri lainnya. Dalam penataan kampus pun masih semrawut. Hal ini terjadi, mungkin karena letaknya yang sudah tidak kondusif karena berdekatan dengan wilayah terminal. Bagaimana tidak?, kampus seperti halnya bukan kampus karena bisa dibilang terminal juga. Memang kampus, tapi semua orang yang tidak berkepentingan bisa memasuki arena kampus. Seharusnya pihak kampus bisa lebih tegas dalam menyikapi hal ini.
Banyak sekali celotehan dari mahasiswanya sendiri. Mereka pada ngeluh, bayar mahal tapi fasilitas tidak memadai. Seperti halnya ruang interaktif (belajar) kurang kondusif akibat AC yang mati karena bisa dibilang acecoriss. Kursi yang sudah tak layak pakai untuk sekelas kampus masih berkeliaran di ruang kelas di setiap gedung, proyektor sebagai fasilitas IT juga sama rusaknya dan lantai juga tak kalah penting karena bisa merusak pemandangan, masa di ruangan seperti halnya tempat rongsokan ?? kan ga mungkin. Bagaimana bisa belajar kondusif, jika kondisi seperti itu. Padahal, mereka berharap fasilitas setara dengan pembayaran semester mereka, namun harapan itu adalah hal yang usang dan terkubur.
Melihat kondisi tersebut, seharusnya pihak kampus cepat sigap dalam mengatasinya. Beberapa kali aksi mahasiswa yang menuntut haknya dan sudah menunaikan kewaajibannya. Namun, lagi-lagi aspirasi tersebut hanya omongan kosong yang tak dianggap. Jeritan mahasiswa kian melejit.
Tak hanya fasilitas yang mereka keluhkan, tetapi juga dalam hal sistem yang berlangsung dan pelayanan yang masih kurang bersahabat dengan mahasiswa. Masih banyak pihak yang bekerja kurang adanya penanaman dalam dirinya sikap yang ramah. Bagaimana attitude yang seharusnya diterapkan oleh akademisi??

Makalah Kisah Robi'ah Al Adawiyah



sebuah makalah saya persembahkan untuh sahabat daway... :} 

CINTA DALAM PANDANGAN SUFIAH RABI’AH
AL-ADAWIYAH


BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad sebagai pembawa agama Islam diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya dan terjadi pengikisan moral terutama di kaula muda.
            Islam memuat tigadimensi dasar yang harus dimiliki setiap muslim, yaitu iman, islam dan ihsan. Para ulama yang berjasa mempertahankan kesucian agama islam dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama bertugas memelihara dan mempertahankan kedudukan dasar-dasar iman. Kelompok kedua bertugas menjaga kedudukan islam dan pokok-pokok ajarannya. Sedangkan yang ketiga adalah kelompok penjaga kedudukan ihsan.
Makalah ini membahas kelompok ketiga, yang biasa dikenal sebagai para sufi, dengan ajaran tasawufnya. Khususnya ajaran sufi perempuan Rabi’ah al-Adawiyah tentang Cinta Illahi.Makalah ini disusun untuk mengetahui riwayat Rabiah Al-Adawiyah, dan cinta (mahabbah) dalam pandangan sufiyah Rabiah Al-Adawiyah.
            Bagaimanakah riwayat Rabiah Al-Adawiyah, dan bagaimana cinta (mahabbah) dalam pandangan sufiyah Rabiah Al-Adawiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Rabiah Al-Adawiyah
            Nama lengkapnya adalah Umm Al-Khair Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah, lahir di Basrah pada tahun 714 M dan meninggal di tahun 801 M.[1]Lahir dalam keadaan yang sederhana dan dijual sebagai budak ketika masih anak-anak, kemudian menetap di Basrah dimana ia meraih popularitas sebagai orang suci.[2]
            Malam itu ia lahir, tidak ada apapun dirumah ayahnya. Ia tidak memiliki setetes minyak sekalipun untuk meminyaki pusernya; tidak ada lampu dan tidak ada kain lap untuk membungkusnya. Ia mempunyai tiga anak perempuan. Istrinya menyuruh pergi ke tetangga minta minyak untuk menyalakan lampu. Laki-laki itu telah berjanji untuk tidak pernah meminta apapun kepada siapapun. Maka ia pergi dan kembali lagi dengan mengatakan bahwa tetangga tidak mau membukakan pintu.
Perempuan itu menangis pilu, dan sang suami berlutut secara menyedihkan hingga tertidur. Ia bermimpi melihat Nabi SAW yang berkata: “Jangan bersedih. Anak yang baru lahir adalah seorang ratu di tengah kaum perempuan, yang menjadi wasilah bagi tujuh puluh ribu umatku. Besok pergilah ke Isa Zadan Gubernur Basrah dan tulis diatas selembar kertas: ‘Anda mengirimkan pada saya seratus Darud (keberkahan) setiap malam dan pada malam jumat empat ratus Darud. Tadi malam adalah malam jumat, dan anda melupakan saya sebagai gantinya, berilah orang ini empat ratus dinar yang diperoleh secara sah”.
            Ayah Rabiah ketika bangun tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Ia bangkit dan menulis sebagaimana diperintah oleh Nabi SAW, lalu mengirimkan pesan itu kepada Gubernur. Gubernur begitu gembira menerima pesan dari Nabi. Ia juga tahu bahwa apa yang dikatakannya tentang seratus Darud setiap malam dan empat ratus pada malam jumat adalah benar.
Ia seketika itu juga memerintahkan dua ribu dinar untuk diberikan kepada orang miskin itu sebagai tanda terimakasih kepada Nabi karena mengingatkannya. Ia juga menyuruh empat ratus dinar untuk diberikan kepada ayah Rabiah disertai pesan, “saya ingin bertemu Anda, tapi menurut saya tidak pantas orang seperti Anda datang kepada saya. Saya akan datang dan menggosok janggut saya pada ambang pintu Anda. Namun, saya mohon Anda memberi tahu saya apa yang ada butuhkan dikemudian hari”.[3]
            Ketika Rabiah sudah agak dewasa, ayah dan ibunya meninggal dan saudara perempuannya terpencar-pencar. Rabiah ditangkap oleh seorang laki-laki jahat dan dijual seharga enam dirham. Si pembeli menaruhnya ditempat kerja paksa. Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Sebagai seorang budak, Rabi’ah Al Adawiyah melayani tuannya bahkan sampai menjalani kehidupan layaknya suami istri. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
            Satu hari ia sedang berjalan sepanjang jalan ketika seorang asing mendekatinya. Ia melarikan diri, jatuh dengan kepala tersungkur dan tangannya terkilir. “Allah !” pekiknya, sambil menundukan kepala ke tanah, “ aku orang tak dikenal, tidak punya ayah dan ibu, tawanan yang tidak berdaya yang menjadi tawanan, tanganku patah. Namun semua ini tidak membuatku bersedih hati, yang kubutuhkan adalah keridhaan Mu untuk mengetahui apakah Engkau ridha pada ku atau tidak”.
            Ia mendengar sebuah suara, “jangan bersedih hati. Esok kehormatan akan menjadi milikmu sampai-sampai para malaikat di langitpun akan cemburu padamu”.Maka Rabiah kembali pada rumah tuannya. Siang hari itu ia terus berpuasa dan berdoa kepada Allah, dan malam hari ia beribadah sampai siang. Satu hari tuannya mengintip lewat jendela menyaksikan Rabiah sedang sujud dan berdoa:
            “Ya Allah Engkau sangat mengetahui bahwa hasrat hatiku adalah menaati-Mu dan bahwa cahaya mata ku adalah mengabdi kepada Mu. Andaikan mampu aku tidak akan berhenti sejenakpun dari menyembahMu; Engkau sendiri telah menyerahkan aku dalam kekuasaan seorang makhluk”[4]
            Ia melihat cahaya Ilahiah diatas kepala Rabiah dan rumahpun dipenuhi dengan cahaya itu. Menyaksikan hal ini, timbul rasa takut dalam dirinya, dan ia duduk merenung sepanjang malam. Ketika fajar merekah ia membebaskan Rabiah. Rabiah pergi ke padang pasir dan hidup disana sampai selalu berdoa dan beribadah serta memilih hidup zahid.
Kemudian ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji, dan berangkat ke padang pasir bersama sekelompok laki-laki, ia mengikatkan buntelannya pada seekor keledai. Ditengah padang pasir keledai itu mati. Kawan-kawannya menawarkan untuk membawakan bebannya tapi ia menolak seraya berkata, “kalian teruslah. Aku tidak ikut, aku menaruh kepercayaan kepada kalian”.
            “Ya Allah!” ratapnya, seraya menengadahkan kepala, “ beginikah raja-raja memperlakukan seorang perempuan yang asing dan tidak berdaya? Engkau telah mengundangku ke rumahMu dan di tengah-tengah gurun pasir Engkau telah membuatku keledai ku menderita hingga mati”. Belum usai berdoa keledainya bergerak dan bangkit. Rabiah menaikan bawaannya diatas punggung keledai dan meneruskan perjalanan.
Doa-doa Rabiah
            Ya Allah, apapun yang telah Engkau tetapkan bagi ku dari hal-hal duniawi berikanlah kepada musuh-musuh Mu; dan apapun yang telah engkau tetapkan bagiku di dunia akan datang, berikanlah itu pada para wali mu; karena cukup engkau saja bagiku.
            Ya Allah, jika aku menyembah Mu, karena takut neraka, bakarlah aku di neraka; jika aku menyembah Mu karena mengharapkan surga keluarkanlah aku dari surga; tapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau, jangan engkau memberiku keindahaan-Mu yang abadi.
            Ya Allah engkau adalah tujuan hasrat-hasrat dan kerinduan-kerinduan ku di dunia ini dan di akhirat kelak. Ini membantu aku kini lakukanlah apa yang engkau kehendaki.
            Sufian Al-Sauri, sebagai seorang alim banyak dikunjungi orang. Hal ini dianggap Rabiah sebagai kesenangan duniawi. Oleh karena itu, ketika Sufian bertanya padanya tentang hikmat, ia menjawab: “ alangkah baiknya bagi mu jika engkau tidak mencintai dunia ini”. Rabiah hidup dalam kemiskinan dan ketika teman-temannya ingin membantunya, ia menolak bantuan mereka. Salah seorang dari mereka memberi rumah kapadanya. Ia mengatakan: “ aku takut kalau-kalau rumah ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Kepada seorang pengunjung ia memberi nasihat: “ pandanglah dunia ini sebagai sesuatu yang hina dan tak berharga; itu lebih baik bagimu”. Segala lamaran  juga ia tolak, karena itu menurut pendapatnya, adalah kesenangan duniawi yang akan memalingkan perhatiannnya pada akhirat.
 Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
            Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
            Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia.
            Kini Rabi’ah telah tiada. Penyair kasmaran itu telah meninggalkan  kita semua, perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi. Namun tapak-tapaknya dalam cinta menuju Allah telah menjadi tonggak terpenting dalam falsafah sufiah tentang cinta Ilahi, dan mempengaruhi penyair sufi sesudahnya seperti Al-Bakhi, Ats-Tsuri, Al-Ghazali, juga mempengaruhi Al-Hallaj, As-Syibli, Ibn Faridh, dan bahkan Al-Aththar, Ar-Rumi dan Ibn Arabi.
2.2  Cinta dalam Pandangan Sufiah Rabiah Al-Adawiyah
Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah berjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Cinta yang dalam tasawuf dikenal dengan istilah mahabbah, adalah pilar utama bagi kehidupan seorang sufi, karena dasar setiap gerak dan diam adalah cinta. Tiada kehidupan tanpa cinta dan dengan cinta kehidupan tercipta. Dasar Rabiah Al-Adawiyah bermahabbah berdasarkan dalil naqli yaitu tergambar dalam QS Ali Imran : 31 yaitu
وَاللَّهُ ذُنُوبَكُمْ لَكُمْ وَيَغْفِرْ اللَّهُ يُحْبِبْكُمُ فَاتَّبِعُونِي اللَّهَ تُحِبُّونَ كُنْتُمْ إِنْ قُلْ
رَحِيم غَفُورٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[5]
            Cinta Allah kepada seorang hamba ditunjukkan dengan kedekatan Nya pada hamba itu, sedangkan cinta hamba kepada Allah ditunjukkan dengan taat melakukan perintah Nya, menjauhi larangan Nya dan mempersembahkan kepasrahan total di hadapan Nya. Puncak cinta berakhir dengan disingkapkannya hijab Allah, dibukanya pintu, dan dipersilahkannya seorang hamba masuk ke hadirat Allah bersama para ahbab, para pecinta yang mempunya maqam khusus di hadapan Nya.
            Cinta bukanlah rasa takut.[6] Rabiah Al-Adawiyah sama sekali tidak merasakan takut atas apa yang ia lakukan sebagai wujud cintanya kepada sang kekasih yang sangat ia cintai yaitu Allah. Jalan Menuju Mahabbah Kepada Allah yang ditempuh Rabiah Al-Adawyah yaitu:

1.         Tidak Menikah
Wanita suci Rabiah Al-Adawiyah sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Rabi’ah tidak mau menjalani kehidupan dengan rasa sakit untuk yang kedua kalinya, akibat dia menjadi budak membuatnya tidak akan menikah selama hidupnya, dan hanya akan memberikan cinta seutuhnya pada sang Illahi. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah. 
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridha kepada hamba yang mencintai Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.
            Dalam kisah lain disebutkan, sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri bercakap-cakap dengan Rabi’ah perihal pernikahan. Hasan al-Bashri bertanya “wahai Rabi’ah apakah engkau akan menikah? kemudian Rabi’ah menjawab “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan menikah.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab”. “Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.” “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri.Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu”. “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu. Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan Al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mihrabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Beberapa masalah yang dilontarkan Rabi’ah dalam dialog di atas itu termasuk dalam persoalan ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah. Karena itulah, orang-orang yang hadir pada saat itu terdiam. Sesaat kemudian ia berkata, “ Kami sama sekali tidak mengerti apa yang engkau maksudkan, wahai Rabi’ah.”Jawab Rabi’ah; “Kalau aku berdukacita memikirkan hal-hal tersebut, apakah mungkin aku memerlukan suami. Padahal kenyataannya, bila aku bersuami, sebagian waktuku akan disita olehnya.
Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia.
2.         Zuhud
          Ke zuhudan Rabi’ah al-Adawiyah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar kehati-hatiannya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, padahal andai saja ia bersedia menerima pemberian orang lain, tentu dalam waktu sekejap ia akan kaya raya karena banyak sekali baik dari para pedagang atau para hartawan yang ingin membenatu dia, namun mereka selalu kecewa setiap kali menawarkan hadiah atau bantuan kepada Rabi’ah setiap itu juga Rabi’ah menolaknya, dan Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya.
Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah. Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten.
Aku shalat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka aku katakan, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dariMu.”
Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqir), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah. Dan Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”

BAB III
PENUTUP
            Rabiah Al-Adawiyah dilahirkan dalam keadaan yang sederhana, sehingga kesederhanaan itu selalu melekat pada dirinya hingga dia mencapai dewasa dan menjadi dasar menuju jalan mahabbah kepada Allah dan menjadikannya sufi wanita yang pertama kali yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Selain zuhud, jalan yang ia lakukan juga dengan cara tidak menikah seumur hidup. Bagi Rabiah al-Adawiyah menikah bukanlah jalan  yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan dan tanpa harus dibebani urusan-urusan keduniawian. Bukan sedikit yang melamar Rabiah bahkan meminangnya, tapi Rabiah selalu menolak, hingga akhir hayatnya Rabiah hanya mengagungkan Allah sebagai kekasih yang dicintainya dan ia telah kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Dialah  perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia, karena bagi Rabiah Allah adalah segala-galanya.
            Konsep cinta menurut Rabiah adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridha kepada hamba yang mencintai Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan Nya di dunia dan juga di akhirat kelak dan dengan jalan itu Rabiah berharap agar Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.
            Bagi kita sebagai generasi Islam khusunya wanita hendaklah kita meneladani kehidupan Rabiah yang penuh kesederhanaan dalam menjalani hidup, karena pada dasarnya semua adalah milik Allah yang sewaktu-waktu pasti akan diambil Nya. Dan janganlah mementingkan cinta dunia, karena sesungguhnya makna Cinta ialah jalan menuju ilahi dan cinta sejati kita tentu saja Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya.
Hoffman, Ivan. 2004. The Tao of Love Meraih Cinta Sejati. Bandung: Nuansa.
Nasution, Harun. 1986. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Rabani, Wahid Bakhsh. 2004. Sufisme Islam. Jakarta: Sahara Publishers.
Rahimah. 2004.Sufi Wanita Rabi’ah Al-Adawiyah: Mencapai Al-Hubb Al-Ilahi. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Rusland Rahim, Rabi’ah Al-Adawiyah, http :// archgreenland .blogspot. com/ 2012 /10 / rabiah-al-adawiyah-a.html, 13 November 2013.

Tanpa Nama Pengarang, Konsep Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf, http:// racheedus. wordpress.com /makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/ , 11 November 2013.




LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pertanyaan :
1.      Penanya : Siti Haryati
Kita sebagai muslim ummat Nabi Muhammad SAW adalah mengikuti sunnahnya, seperti halnya nikah merupakan sunnah Rasul. Dari kisah Rabi’ah Al-Adawiyah bahwasanya beliau tidak menikah sampai akhir hidupnya. Apakah kita harus mengikuti Rabi’ah Al-Adawiyah untuk tidak menikah? agar kita mendekatkan diri pada sang maha pencipta kita yaitu Allah SWT.
2.      Penanya : Ika Rusniawati
Rabi’ah Al-Adawiyah lebih mementingkan kehidupan akhirat atau zuhud, dibandingkan dengan kehidupan duniawi. Bukankah kita hidup itu harus seimbang antara dunia dan akhirat?

Jawab :
1.      Sebagai ummat muslim pengikut ajaran Rasulallah SAW, kita diperintahkan untuk mengikuti ajarannya bahkan sunnah Rasul sendiri. Menikah adalah salah satu sunnah Rasul yang harus kita ikuti, jadi bagi kita adalah disunnahkan untuk menikah karena dengan menikah maka akan melanjutkkan keturunan dan yang akan melanjutkan dakwah adalah anak cucu kita. Sebagai ummat muslim panutan kita adalah Allah dan Rasulnya, bukan Rabi’ah Al-Adawiyah sebagai manusia biasa. Jadi, apapun yang Rasulallah ajarkan hendaklah kita laksanakan. Perintah Rasul juga perintah Allah SWT.  Kita yang lahir pada zaman modern alangkah lebih baiknya kita menikah, karena untuk menghindari terjadinya fitnah yang tidak diinginkan. Alasan Rabi’ah Al-Adawiyah tidak menikah adalah karena dia tidak mau sakit hati untuk yang kedua kalinya. Ketika dia menjadi seorang budak, maka dia harus melayani tuannya apapun yang tuannya inginkan maka ia harus memberinya bahkan kehormatannya pun. Sejak itulah, ketika Rabi’ah Al-Adawiyah dibebaskan oleh tuannya maka sisa hidupnya ia berikan untuk sang maha pencipta yang sangat ia sayangi dan sangat ia cintai yaitu Allah SWT, cinta Rabi’ah kepada Allah SWT tiada duanya dan takkan terbagi oleh cinta apapun hingga ia memilih tidak menikah dalam hidupnya. Dan, yang namanya rasa adalah subyektif, tergantung kondisi orangnya yang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, keimanan, pengalaman batin, ruhani, dan sebagainnya.
2.      Sebagai manusia hendaklah kita hidup seimbang antara dunia dan akhirat. Namun, dalam kehidupan di dunia hendaklah kita tanamkan hidup zuhud. Berbeda dengan Rabi’ah Al-Adawiyah yang sudah menyandang gelar sufi, sebagai seorang sufi yang tidak mementingkan kehidupan di dunia karena hidup di dunia adalah kehidupan yang sementara, sedangkan hidup yang kekal adalah kehidupan akhirat. Sebagai seorang zahidah sejati Rabi’ah Al-Adawiyah memeluk erat kemiskinan demi cintanya kepada Allah SWT, lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Karena definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Tuhannya.


[1]Ibn Khalikan, Wafayat Al-A’yan, (Kairo:Tanpa Penerbit,1299 H), hal. 227.
[2] Wahid bakhash Rabbani, Sufisme Islam, (Jakarta: Sahara Publisher, 2004), cet. 1, hal. 283.
[3]Ibid.,
[4]Iibid.
[5]Al-Qur’an Surat Al-Imran : 31
[6]Ivan Hoffman, The Tao of Love Meraih Cinta Sejati, (Bandung: Nuansa, 2004), Cet 1, hal. 85.