Selasa, 16 Desember 2014

Makalah Kisah Robi'ah Al Adawiyah



sebuah makalah saya persembahkan untuh sahabat daway... :} 

CINTA DALAM PANDANGAN SUFIAH RABI’AH
AL-ADAWIYAH


BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad sebagai pembawa agama Islam diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam semesta (rahmah lil ‘alamin). Tasawuf sebagai salah satu bentuk pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah) menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama sufi, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh tasawuf yang mendedahkan cinta, sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang rohani dalam dirinya dan terjadi pengikisan moral terutama di kaula muda.
            Islam memuat tigadimensi dasar yang harus dimiliki setiap muslim, yaitu iman, islam dan ihsan. Para ulama yang berjasa mempertahankan kesucian agama islam dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama bertugas memelihara dan mempertahankan kedudukan dasar-dasar iman. Kelompok kedua bertugas menjaga kedudukan islam dan pokok-pokok ajarannya. Sedangkan yang ketiga adalah kelompok penjaga kedudukan ihsan.
Makalah ini membahas kelompok ketiga, yang biasa dikenal sebagai para sufi, dengan ajaran tasawufnya. Khususnya ajaran sufi perempuan Rabi’ah al-Adawiyah tentang Cinta Illahi.Makalah ini disusun untuk mengetahui riwayat Rabiah Al-Adawiyah, dan cinta (mahabbah) dalam pandangan sufiyah Rabiah Al-Adawiyah.
            Bagaimanakah riwayat Rabiah Al-Adawiyah, dan bagaimana cinta (mahabbah) dalam pandangan sufiyah Rabiah Al-Adawiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Rabiah Al-Adawiyah
            Nama lengkapnya adalah Umm Al-Khair Rabiah binti Ismail Al-Adawiyah, lahir di Basrah pada tahun 714 M dan meninggal di tahun 801 M.[1]Lahir dalam keadaan yang sederhana dan dijual sebagai budak ketika masih anak-anak, kemudian menetap di Basrah dimana ia meraih popularitas sebagai orang suci.[2]
            Malam itu ia lahir, tidak ada apapun dirumah ayahnya. Ia tidak memiliki setetes minyak sekalipun untuk meminyaki pusernya; tidak ada lampu dan tidak ada kain lap untuk membungkusnya. Ia mempunyai tiga anak perempuan. Istrinya menyuruh pergi ke tetangga minta minyak untuk menyalakan lampu. Laki-laki itu telah berjanji untuk tidak pernah meminta apapun kepada siapapun. Maka ia pergi dan kembali lagi dengan mengatakan bahwa tetangga tidak mau membukakan pintu.
Perempuan itu menangis pilu, dan sang suami berlutut secara menyedihkan hingga tertidur. Ia bermimpi melihat Nabi SAW yang berkata: “Jangan bersedih. Anak yang baru lahir adalah seorang ratu di tengah kaum perempuan, yang menjadi wasilah bagi tujuh puluh ribu umatku. Besok pergilah ke Isa Zadan Gubernur Basrah dan tulis diatas selembar kertas: ‘Anda mengirimkan pada saya seratus Darud (keberkahan) setiap malam dan pada malam jumat empat ratus Darud. Tadi malam adalah malam jumat, dan anda melupakan saya sebagai gantinya, berilah orang ini empat ratus dinar yang diperoleh secara sah”.
            Ayah Rabiah ketika bangun tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Ia bangkit dan menulis sebagaimana diperintah oleh Nabi SAW, lalu mengirimkan pesan itu kepada Gubernur. Gubernur begitu gembira menerima pesan dari Nabi. Ia juga tahu bahwa apa yang dikatakannya tentang seratus Darud setiap malam dan empat ratus pada malam jumat adalah benar.
Ia seketika itu juga memerintahkan dua ribu dinar untuk diberikan kepada orang miskin itu sebagai tanda terimakasih kepada Nabi karena mengingatkannya. Ia juga menyuruh empat ratus dinar untuk diberikan kepada ayah Rabiah disertai pesan, “saya ingin bertemu Anda, tapi menurut saya tidak pantas orang seperti Anda datang kepada saya. Saya akan datang dan menggosok janggut saya pada ambang pintu Anda. Namun, saya mohon Anda memberi tahu saya apa yang ada butuhkan dikemudian hari”.[3]
            Ketika Rabiah sudah agak dewasa, ayah dan ibunya meninggal dan saudara perempuannya terpencar-pencar. Rabiah ditangkap oleh seorang laki-laki jahat dan dijual seharga enam dirham. Si pembeli menaruhnya ditempat kerja paksa. Kehidupan dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Sebagai seorang budak, Rabi’ah Al Adawiyah melayani tuannya bahkan sampai menjalani kehidupan layaknya suami istri. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir, istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
            Satu hari ia sedang berjalan sepanjang jalan ketika seorang asing mendekatinya. Ia melarikan diri, jatuh dengan kepala tersungkur dan tangannya terkilir. “Allah !” pekiknya, sambil menundukan kepala ke tanah, “ aku orang tak dikenal, tidak punya ayah dan ibu, tawanan yang tidak berdaya yang menjadi tawanan, tanganku patah. Namun semua ini tidak membuatku bersedih hati, yang kubutuhkan adalah keridhaan Mu untuk mengetahui apakah Engkau ridha pada ku atau tidak”.
            Ia mendengar sebuah suara, “jangan bersedih hati. Esok kehormatan akan menjadi milikmu sampai-sampai para malaikat di langitpun akan cemburu padamu”.Maka Rabiah kembali pada rumah tuannya. Siang hari itu ia terus berpuasa dan berdoa kepada Allah, dan malam hari ia beribadah sampai siang. Satu hari tuannya mengintip lewat jendela menyaksikan Rabiah sedang sujud dan berdoa:
            “Ya Allah Engkau sangat mengetahui bahwa hasrat hatiku adalah menaati-Mu dan bahwa cahaya mata ku adalah mengabdi kepada Mu. Andaikan mampu aku tidak akan berhenti sejenakpun dari menyembahMu; Engkau sendiri telah menyerahkan aku dalam kekuasaan seorang makhluk”[4]
            Ia melihat cahaya Ilahiah diatas kepala Rabiah dan rumahpun dipenuhi dengan cahaya itu. Menyaksikan hal ini, timbul rasa takut dalam dirinya, dan ia duduk merenung sepanjang malam. Ketika fajar merekah ia membebaskan Rabiah. Rabiah pergi ke padang pasir dan hidup disana sampai selalu berdoa dan beribadah serta memilih hidup zahid.
Kemudian ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji, dan berangkat ke padang pasir bersama sekelompok laki-laki, ia mengikatkan buntelannya pada seekor keledai. Ditengah padang pasir keledai itu mati. Kawan-kawannya menawarkan untuk membawakan bebannya tapi ia menolak seraya berkata, “kalian teruslah. Aku tidak ikut, aku menaruh kepercayaan kepada kalian”.
            “Ya Allah!” ratapnya, seraya menengadahkan kepala, “ beginikah raja-raja memperlakukan seorang perempuan yang asing dan tidak berdaya? Engkau telah mengundangku ke rumahMu dan di tengah-tengah gurun pasir Engkau telah membuatku keledai ku menderita hingga mati”. Belum usai berdoa keledainya bergerak dan bangkit. Rabiah menaikan bawaannya diatas punggung keledai dan meneruskan perjalanan.
Doa-doa Rabiah
            Ya Allah, apapun yang telah Engkau tetapkan bagi ku dari hal-hal duniawi berikanlah kepada musuh-musuh Mu; dan apapun yang telah engkau tetapkan bagiku di dunia akan datang, berikanlah itu pada para wali mu; karena cukup engkau saja bagiku.
            Ya Allah, jika aku menyembah Mu, karena takut neraka, bakarlah aku di neraka; jika aku menyembah Mu karena mengharapkan surga keluarkanlah aku dari surga; tapi jika aku menyembah-Mu karena Engkau, jangan engkau memberiku keindahaan-Mu yang abadi.
            Ya Allah engkau adalah tujuan hasrat-hasrat dan kerinduan-kerinduan ku di dunia ini dan di akhirat kelak. Ini membantu aku kini lakukanlah apa yang engkau kehendaki.
            Sufian Al-Sauri, sebagai seorang alim banyak dikunjungi orang. Hal ini dianggap Rabiah sebagai kesenangan duniawi. Oleh karena itu, ketika Sufian bertanya padanya tentang hikmat, ia menjawab: “ alangkah baiknya bagi mu jika engkau tidak mencintai dunia ini”. Rabiah hidup dalam kemiskinan dan ketika teman-temannya ingin membantunya, ia menolak bantuan mereka. Salah seorang dari mereka memberi rumah kapadanya. Ia mengatakan: “ aku takut kalau-kalau rumah ini akan mengikat hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Kepada seorang pengunjung ia memberi nasihat: “ pandanglah dunia ini sebagai sesuatu yang hina dan tak berharga; itu lebih baik bagimu”. Segala lamaran  juga ia tolak, karena itu menurut pendapatnya, adalah kesenangan duniawi yang akan memalingkan perhatiannnya pada akhirat.
 Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya
            Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90 tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
            Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia.
            Kini Rabi’ah telah tiada. Penyair kasmaran itu telah meninggalkan  kita semua, perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi. Namun tapak-tapaknya dalam cinta menuju Allah telah menjadi tonggak terpenting dalam falsafah sufiah tentang cinta Ilahi, dan mempengaruhi penyair sufi sesudahnya seperti Al-Bakhi, Ats-Tsuri, Al-Ghazali, juga mempengaruhi Al-Hallaj, As-Syibli, Ibn Faridh, dan bahkan Al-Aththar, Ar-Rumi dan Ibn Arabi.
2.2  Cinta dalam Pandangan Sufiah Rabiah Al-Adawiyah
Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah berjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Cinta yang dalam tasawuf dikenal dengan istilah mahabbah, adalah pilar utama bagi kehidupan seorang sufi, karena dasar setiap gerak dan diam adalah cinta. Tiada kehidupan tanpa cinta dan dengan cinta kehidupan tercipta. Dasar Rabiah Al-Adawiyah bermahabbah berdasarkan dalil naqli yaitu tergambar dalam QS Ali Imran : 31 yaitu
وَاللَّهُ ذُنُوبَكُمْ لَكُمْ وَيَغْفِرْ اللَّهُ يُحْبِبْكُمُ فَاتَّبِعُونِي اللَّهَ تُحِبُّونَ كُنْتُمْ إِنْ قُلْ
رَحِيم غَفُورٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[5]
            Cinta Allah kepada seorang hamba ditunjukkan dengan kedekatan Nya pada hamba itu, sedangkan cinta hamba kepada Allah ditunjukkan dengan taat melakukan perintah Nya, menjauhi larangan Nya dan mempersembahkan kepasrahan total di hadapan Nya. Puncak cinta berakhir dengan disingkapkannya hijab Allah, dibukanya pintu, dan dipersilahkannya seorang hamba masuk ke hadirat Allah bersama para ahbab, para pecinta yang mempunya maqam khusus di hadapan Nya.
            Cinta bukanlah rasa takut.[6] Rabiah Al-Adawiyah sama sekali tidak merasakan takut atas apa yang ia lakukan sebagai wujud cintanya kepada sang kekasih yang sangat ia cintai yaitu Allah. Jalan Menuju Mahabbah Kepada Allah yang ditempuh Rabiah Al-Adawyah yaitu:

1.         Tidak Menikah
Wanita suci Rabiah Al-Adawiyah sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Rabi’ah tidak mau menjalani kehidupan dengan rasa sakit untuk yang kedua kalinya, akibat dia menjadi budak membuatnya tidak akan menikah selama hidupnya, dan hanya akan memberikan cinta seutuhnya pada sang Illahi. Padahal, tidak sedikit laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota Basrah. 
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridha kepada hamba yang mencintai Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.
            Dalam kisah lain disebutkan, sahabat Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri bercakap-cakap dengan Rabi’ah perihal pernikahan. Hasan al-Bashri bertanya “wahai Rabi’ah apakah engkau akan menikah? kemudian Rabi’ah menjawab “Jika engkau dapat menjawab empat pertanyaanku, aku pun akan menikah.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab”. “Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.” “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan amal di tangan kanan dan di tangan kiri.Bagaimana denganku, akankah aku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu”. “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang tersembunyi itu. Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan Al-Bashri, “Aku telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mihrabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Beberapa masalah yang dilontarkan Rabi’ah dalam dialog di atas itu termasuk dalam persoalan ghaib yang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah. Karena itulah, orang-orang yang hadir pada saat itu terdiam. Sesaat kemudian ia berkata, “ Kami sama sekali tidak mengerti apa yang engkau maksudkan, wahai Rabi’ah.”Jawab Rabi’ah; “Kalau aku berdukacita memikirkan hal-hal tersebut, apakah mungkin aku memerlukan suami. Padahal kenyataannya, bila aku bersuami, sebagian waktuku akan disita olehnya.
Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia.
2.         Zuhud
          Ke zuhudan Rabi’ah al-Adawiyah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar kehati-hatiannya terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, padahal andai saja ia bersedia menerima pemberian orang lain, tentu dalam waktu sekejap ia akan kaya raya karena banyak sekali baik dari para pedagang atau para hartawan yang ingin membenatu dia, namun mereka selalu kecewa setiap kali menawarkan hadiah atau bantuan kepada Rabi’ah setiap itu juga Rabi’ah menolaknya, dan Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya.
Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepada Allah. Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten.
Aku shalat seakan-akan ini terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka aku katakan, “Ya Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut Mu, jangan Engkau biarkan mereka menarikku dariMu.”
Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqir), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah. Dan Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”

BAB III
PENUTUP
            Rabiah Al-Adawiyah dilahirkan dalam keadaan yang sederhana, sehingga kesederhanaan itu selalu melekat pada dirinya hingga dia mencapai dewasa dan menjadi dasar menuju jalan mahabbah kepada Allah dan menjadikannya sufi wanita yang pertama kali yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Selain zuhud, jalan yang ia lakukan juga dengan cara tidak menikah seumur hidup. Bagi Rabiah al-Adawiyah menikah bukanlah jalan  yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan dan tanpa harus dibebani urusan-urusan keduniawian. Bukan sedikit yang melamar Rabiah bahkan meminangnya, tapi Rabiah selalu menolak, hingga akhir hayatnya Rabiah hanya mengagungkan Allah sebagai kekasih yang dicintainya dan ia telah kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Dialah  perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia, karena bagi Rabiah Allah adalah segala-galanya.
            Konsep cinta menurut Rabiah adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridha kepada hamba yang mencintai Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan Nya di dunia dan juga di akhirat kelak dan dengan jalan itu Rabiah berharap agar Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.
            Bagi kita sebagai generasi Islam khusunya wanita hendaklah kita meneladani kehidupan Rabiah yang penuh kesederhanaan dalam menjalani hidup, karena pada dasarnya semua adalah milik Allah yang sewaktu-waktu pasti akan diambil Nya. Dan janganlah mementingkan cinta dunia, karena sesungguhnya makna Cinta ialah jalan menuju ilahi dan cinta sejati kita tentu saja Allah SWT.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya.
Hoffman, Ivan. 2004. The Tao of Love Meraih Cinta Sejati. Bandung: Nuansa.
Nasution, Harun. 1986. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Rabani, Wahid Bakhsh. 2004. Sufisme Islam. Jakarta: Sahara Publishers.
Rahimah. 2004.Sufi Wanita Rabi’ah Al-Adawiyah: Mencapai Al-Hubb Al-Ilahi. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Rusland Rahim, Rabi’ah Al-Adawiyah, http :// archgreenland .blogspot. com/ 2012 /10 / rabiah-al-adawiyah-a.html, 13 November 2013.

Tanpa Nama Pengarang, Konsep Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf, http:// racheedus. wordpress.com /makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/ , 11 November 2013.




LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pertanyaan :
1.      Penanya : Siti Haryati
Kita sebagai muslim ummat Nabi Muhammad SAW adalah mengikuti sunnahnya, seperti halnya nikah merupakan sunnah Rasul. Dari kisah Rabi’ah Al-Adawiyah bahwasanya beliau tidak menikah sampai akhir hidupnya. Apakah kita harus mengikuti Rabi’ah Al-Adawiyah untuk tidak menikah? agar kita mendekatkan diri pada sang maha pencipta kita yaitu Allah SWT.
2.      Penanya : Ika Rusniawati
Rabi’ah Al-Adawiyah lebih mementingkan kehidupan akhirat atau zuhud, dibandingkan dengan kehidupan duniawi. Bukankah kita hidup itu harus seimbang antara dunia dan akhirat?

Jawab :
1.      Sebagai ummat muslim pengikut ajaran Rasulallah SAW, kita diperintahkan untuk mengikuti ajarannya bahkan sunnah Rasul sendiri. Menikah adalah salah satu sunnah Rasul yang harus kita ikuti, jadi bagi kita adalah disunnahkan untuk menikah karena dengan menikah maka akan melanjutkkan keturunan dan yang akan melanjutkan dakwah adalah anak cucu kita. Sebagai ummat muslim panutan kita adalah Allah dan Rasulnya, bukan Rabi’ah Al-Adawiyah sebagai manusia biasa. Jadi, apapun yang Rasulallah ajarkan hendaklah kita laksanakan. Perintah Rasul juga perintah Allah SWT.  Kita yang lahir pada zaman modern alangkah lebih baiknya kita menikah, karena untuk menghindari terjadinya fitnah yang tidak diinginkan. Alasan Rabi’ah Al-Adawiyah tidak menikah adalah karena dia tidak mau sakit hati untuk yang kedua kalinya. Ketika dia menjadi seorang budak, maka dia harus melayani tuannya apapun yang tuannya inginkan maka ia harus memberinya bahkan kehormatannya pun. Sejak itulah, ketika Rabi’ah Al-Adawiyah dibebaskan oleh tuannya maka sisa hidupnya ia berikan untuk sang maha pencipta yang sangat ia sayangi dan sangat ia cintai yaitu Allah SWT, cinta Rabi’ah kepada Allah SWT tiada duanya dan takkan terbagi oleh cinta apapun hingga ia memilih tidak menikah dalam hidupnya. Dan, yang namanya rasa adalah subyektif, tergantung kondisi orangnya yang dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, keimanan, pengalaman batin, ruhani, dan sebagainnya.
2.      Sebagai manusia hendaklah kita hidup seimbang antara dunia dan akhirat. Namun, dalam kehidupan di dunia hendaklah kita tanamkan hidup zuhud. Berbeda dengan Rabi’ah Al-Adawiyah yang sudah menyandang gelar sufi, sebagai seorang sufi yang tidak mementingkan kehidupan di dunia karena hidup di dunia adalah kehidupan yang sementara, sedangkan hidup yang kekal adalah kehidupan akhirat. Sebagai seorang zahidah sejati Rabi’ah Al-Adawiyah memeluk erat kemiskinan demi cintanya kepada Allah SWT, lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Karena definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Tuhannya.


[1]Ibn Khalikan, Wafayat Al-A’yan, (Kairo:Tanpa Penerbit,1299 H), hal. 227.
[2] Wahid bakhash Rabbani, Sufisme Islam, (Jakarta: Sahara Publisher, 2004), cet. 1, hal. 283.
[3]Ibid.,
[4]Iibid.
[5]Al-Qur’an Surat Al-Imran : 31
[6]Ivan Hoffman, The Tao of Love Meraih Cinta Sejati, (Bandung: Nuansa, 2004), Cet 1, hal. 85.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar