sebuah makalah saya persembahkan untuh sahabat daway... :}
CINTA DALAM PANDANGAN SUFIAH RABI’AH
AL-ADAWIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Nabi Muhammad sebagai pembawa
agama Islam diutus oleh Allah untuk membawa misi sebagai kasih sayang bagi alam
semesta (rahmah lil ‘alamin). Tasawuf sebagai salah satu bentuk
pemahaman dalam Islam telah memperkenalkan betapa ajaran cinta (mahabbah)
menempati kedudukan yang tinggi. Hal itu terlihat dari bagaimana para ulama
sufi, menempatkan mahabbah sebagai salah satu tingkatan puncak yang harus
dilalui para sufi.
Wajah sejuk dan teduh
tasawuf yang mendedahkan cinta, sejak zaman Rabi’ah al-Adawiyah hingga di zaman
modern sekarang, tak pelak menarik orang-orang yang tertarik dengan pencarian
kebahagiaan dan kebenaran hakiki. Apalagi di zaman modern sekarang ketika
alienasi sosial begitu banyak terjadi, terutama di masyarakat Barat. Alienasi
tersebut terjadi di antaranya karena kemajuan material ternyata banyak
mengorbankan penderitaan spiritual. Kemudahan-kemudahan hidup yang dihasilkan
oleh kemajuan teknologi modern membuat banyak orang jadi mengabaikan ruang
rohani dalam dirinya dan terjadi pengikisan moral terutama di kaula muda.
Islam memuat
tigadimensi dasar yang harus dimiliki setiap muslim, yaitu iman, islam dan
ihsan. Para ulama yang berjasa mempertahankan kesucian agama islam dapat
digolongkan dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama bertugas
memelihara dan mempertahankan kedudukan dasar-dasar iman. Kelompok kedua
bertugas menjaga kedudukan islam dan pokok-pokok ajarannya. Sedangkan yang ketiga
adalah kelompok penjaga kedudukan ihsan.
Makalah ini membahas kelompok ketiga,
yang biasa dikenal sebagai para sufi, dengan ajaran tasawufnya. Khususnya
ajaran sufi perempuan Rabi’ah al-Adawiyah tentang Cinta Illahi.Makalah
ini disusun untuk mengetahui riwayat Rabiah Al-Adawiyah, dan cinta (mahabbah)
dalam pandangan sufiyah Rabiah Al-Adawiyah.
Bagaimanakah
riwayat Rabiah Al-Adawiyah, dan bagaimana cinta (mahabbah) dalam pandangan
sufiyah Rabiah Al-Adawiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riwayat Rabiah Al-Adawiyah
Nama lengkapnya adalah Umm Al-Khair Rabiah
binti Ismail Al-Adawiyah, lahir di Basrah pada tahun 714 M dan meninggal di
tahun 801 M.[1]Lahir
dalam keadaan yang sederhana dan dijual sebagai budak ketika masih anak-anak,
kemudian menetap di Basrah dimana ia meraih popularitas sebagai orang suci.[2]
Malam itu ia lahir, tidak ada apapun
dirumah ayahnya. Ia tidak memiliki setetes minyak sekalipun untuk meminyaki
pusernya; tidak ada lampu dan tidak ada kain lap untuk membungkusnya. Ia
mempunyai tiga anak perempuan. Istrinya menyuruh pergi ke tetangga minta minyak
untuk menyalakan lampu. Laki-laki itu telah berjanji untuk tidak pernah meminta
apapun kepada siapapun. Maka ia pergi dan kembali lagi dengan mengatakan bahwa
tetangga tidak mau membukakan pintu.
Perempuan itu menangis pilu, dan sang suami berlutut
secara menyedihkan hingga tertidur. Ia bermimpi melihat Nabi SAW yang berkata:
“Jangan bersedih. Anak yang baru lahir adalah seorang ratu di tengah kaum
perempuan, yang menjadi wasilah bagi tujuh puluh ribu umatku. Besok pergilah ke
Isa Zadan Gubernur Basrah dan tulis diatas selembar kertas: ‘Anda mengirimkan
pada saya seratus Darud (keberkahan) setiap malam dan pada malam jumat empat
ratus Darud. Tadi malam adalah malam jumat, dan anda melupakan saya sebagai
gantinya, berilah orang ini empat ratus dinar yang diperoleh secara sah”.
Ayah Rabiah ketika bangun tiba-tiba
menangis tersedu-sedu. Ia bangkit dan menulis sebagaimana diperintah oleh Nabi
SAW, lalu mengirimkan pesan itu kepada Gubernur. Gubernur begitu gembira
menerima pesan dari Nabi. Ia juga tahu bahwa apa yang dikatakannya tentang seratus
Darud setiap malam dan empat ratus pada malam jumat adalah benar.
Ia seketika itu juga memerintahkan dua ribu dinar untuk
diberikan kepada orang miskin itu sebagai tanda terimakasih kepada Nabi karena
mengingatkannya. Ia juga menyuruh empat ratus dinar untuk diberikan kepada ayah
Rabiah disertai pesan, “saya ingin bertemu Anda, tapi menurut saya tidak pantas
orang seperti Anda datang kepada saya. Saya akan datang dan menggosok janggut
saya pada ambang pintu Anda. Namun, saya mohon Anda memberi tahu saya apa yang
ada butuhkan dikemudian hari”.[3]
Ketika Rabiah sudah agak dewasa,
ayah dan ibunya meninggal dan saudara perempuannya terpencar-pencar. Rabiah ditangkap
oleh seorang laki-laki jahat dan dijual seharga enam dirham. Si pembeli
menaruhnya ditempat kerja paksa. Kehidupan
dalam belenggu perbudakan telah mengisi lembar hidup Rabi’ah. Tuannya
memperlakukannya dengan sangat bengis dan tanpa perikemanusiaan. Sebagai seorang budak, Rabi’ah Al
Adawiyah melayani tuannya bahkan sampai menjalani kehidupan layaknya suami
istri. Tetapi Rabi’ah menjalaninya dengan sabar dan tabah. Shalat malam
tetap dilakukannya dengan rutin, lisannya tidak pernah berhenti berdzikir,
istighfar merupakan senandung yang selalu didendangkannya.
Satu hari ia sedang berjalan
sepanjang jalan ketika seorang asing mendekatinya. Ia melarikan diri, jatuh
dengan kepala tersungkur dan tangannya terkilir. “Allah !” pekiknya, sambil
menundukan kepala ke tanah, “ aku orang tak dikenal, tidak punya ayah dan ibu,
tawanan yang tidak berdaya yang menjadi tawanan, tanganku patah. Namun semua
ini tidak membuatku bersedih hati, yang kubutuhkan adalah keridhaan Mu untuk
mengetahui apakah Engkau ridha pada ku atau tidak”.
Ia mendengar sebuah suara, “jangan
bersedih hati. Esok kehormatan akan menjadi milikmu sampai-sampai para malaikat
di langitpun akan cemburu padamu”.Maka Rabiah kembali pada rumah tuannya. Siang
hari itu ia terus berpuasa dan berdoa kepada Allah, dan malam hari ia beribadah
sampai siang. Satu hari tuannya mengintip lewat jendela menyaksikan Rabiah
sedang sujud dan berdoa:
“Ya Allah Engkau sangat mengetahui
bahwa hasrat hatiku adalah menaati-Mu dan bahwa cahaya mata ku adalah mengabdi
kepada Mu. Andaikan mampu aku tidak akan berhenti sejenakpun dari menyembahMu;
Engkau sendiri telah menyerahkan aku dalam kekuasaan seorang makhluk”[4]
Ia melihat cahaya Ilahiah diatas
kepala Rabiah dan rumahpun dipenuhi dengan cahaya itu. Menyaksikan hal ini,
timbul rasa takut dalam dirinya, dan ia duduk merenung sepanjang malam. Ketika
fajar merekah ia membebaskan Rabiah. Rabiah pergi ke padang pasir dan hidup
disana sampai selalu berdoa dan beribadah serta memilih hidup zahid.
Kemudian ia memutuskan untuk menunaikan ibadah haji, dan
berangkat ke padang pasir bersama sekelompok laki-laki, ia mengikatkan
buntelannya pada seekor keledai. Ditengah padang pasir keledai itu mati. Kawan-kawannya
menawarkan untuk membawakan bebannya tapi ia menolak seraya berkata, “kalian
teruslah. Aku tidak ikut, aku menaruh kepercayaan kepada kalian”.
“Ya Allah!” ratapnya, seraya
menengadahkan kepala, “ beginikah raja-raja memperlakukan seorang perempuan
yang asing dan tidak berdaya? Engkau telah mengundangku ke rumahMu dan di
tengah-tengah gurun pasir Engkau telah membuatku keledai ku menderita hingga
mati”. Belum usai berdoa keledainya bergerak dan bangkit. Rabiah menaikan
bawaannya diatas punggung keledai dan meneruskan perjalanan.
Doa-doa Rabiah
Ya
Allah, apapun yang telah Engkau tetapkan bagi ku dari hal-hal duniawi
berikanlah kepada musuh-musuh Mu; dan apapun yang telah engkau tetapkan bagiku
di dunia akan datang, berikanlah itu pada para wali mu; karena cukup engkau
saja bagiku.
Ya
Allah, jika aku menyembah Mu, karena takut neraka, bakarlah aku di neraka; jika
aku menyembah Mu karena mengharapkan surga keluarkanlah aku dari surga; tapi
jika aku menyembah-Mu karena Engkau, jangan engkau memberiku keindahaan-Mu yang
abadi.
Ya
Allah engkau adalah tujuan hasrat-hasrat dan kerinduan-kerinduan ku di dunia
ini dan di akhirat kelak. Ini membantu aku kini lakukanlah apa yang engkau
kehendaki.
Sufian
Al-Sauri, sebagai seorang alim banyak dikunjungi orang. Hal ini dianggap Rabiah
sebagai kesenangan duniawi. Oleh karena itu, ketika Sufian bertanya padanya
tentang hikmat, ia menjawab: “ alangkah baiknya bagi mu jika engkau tidak
mencintai dunia ini”. Rabiah hidup dalam kemiskinan dan ketika teman-temannya
ingin membantunya, ia menolak bantuan mereka. Salah seorang dari mereka memberi
rumah kapadanya. Ia mengatakan: “ aku takut kalau-kalau rumah ini akan mengikat
hatiku, sehingga aku terganggu dalam amalku untuk akhirat”. Kepada seorang
pengunjung ia memberi nasihat: “ pandanglah dunia ini sebagai sesuatu yang hina
dan tak berharga; itu lebih baik bagimu”. Segala lamaran juga ia tolak, karena itu menurut pendapatnya,
adalah kesenangan duniawi yang akan memalingkan perhatiannnya pada akhirat.
Rabi’ah
dan menjelang hari kematiannya
Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90
tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Pencipta dirinya,
hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telah menjalani pula
masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya. Para ulama yang mengenal
dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiran Rabi’ah di dunia hingga kembalinya
ke alam akhirat, tak pernah terbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali
hanya ta’zhim (mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali
meminta kepada makhluk ciptaan-Nya.
Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang
mengenalnya hampir tak percaya, bahwa perempuan suci itu akan segera
meninggalkan alam fana dan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang
kehilangan Rabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuh
penderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia.
Kini
Rabi’ah telah tiada. Penyair kasmaran itu telah meninggalkan kita semua,
perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup
bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi
ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi. Namun
tapak-tapaknya dalam cinta menuju Allah telah menjadi tonggak terpenting dalam
falsafah sufiah tentang cinta Ilahi, dan mempengaruhi penyair sufi sesudahnya
seperti Al-Bakhi, Ats-Tsuri, Al-Ghazali, juga mempengaruhi Al-Hallaj, As-Syibli,
Ibn Faridh, dan bahkan Al-Aththar, Ar-Rumi dan Ibn Arabi.
2.2 Cinta dalam Pandangan Sufiah
Rabiah Al-Adawiyah
Definisi cinta
menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia
mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang
Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan
punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang
kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah
dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia
harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu,
setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat
sufistik dari “hati yang telah dipenuhi
oleh rahmat Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari
Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah
tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai
sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan
cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah berjalan
mencapai ketulusan. Sesuatu yang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa
cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Cinta
yang dalam tasawuf dikenal dengan istilah mahabbah, adalah pilar utama
bagi kehidupan seorang sufi, karena dasar setiap gerak dan diam adalah cinta.
Tiada kehidupan tanpa cinta dan dengan cinta kehidupan tercipta. Dasar Rabiah
Al-Adawiyah bermahabbah berdasarkan dalil naqli yaitu tergambar dalam QS Ali
Imran : 31 yaitu
وَاللَّهُ ذُنُوبَكُمْ لَكُمْ وَيَغْفِرْ اللَّهُ يُحْبِبْكُمُ فَاتَّبِعُونِي اللَّهَ تُحِبُّونَ كُنْتُمْ إِنْ قُلْ
رَحِيم غَفُورٌ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[5]
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.[5]
Cinta Allah kepada seorang hamba ditunjukkan dengan kedekatan Nya pada hamba
itu, sedangkan cinta hamba kepada Allah ditunjukkan dengan taat melakukan
perintah Nya, menjauhi larangan Nya dan mempersembahkan kepasrahan total di
hadapan Nya. Puncak cinta berakhir dengan disingkapkannya hijab Allah,
dibukanya pintu, dan dipersilahkannya seorang hamba masuk ke hadirat Allah
bersama para ahbab, para pecinta yang mempunya maqam khusus di hadapan Nya.
Cinta
bukanlah rasa takut.[6] Rabiah
Al-Adawiyah sama sekali tidak merasakan takut atas apa yang ia lakukan sebagai
wujud cintanya kepada sang kekasih yang sangat ia cintai yaitu Allah. Jalan Menuju Mahabbah Kepada Allah yang
ditempuh Rabiah Al-Adawyah yaitu:
1. Tidak Menikah
Wanita suci Rabiah
Al-Adawiyah sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah. Sebab, menurut
Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yang tepat untuk melakukan
pencarian Tuhan tanpa harus dibebani oleh urusan-urusan keduniawian. Rabi’ah
tidak mau menjalani kehidupan dengan rasa sakit untuk yang kedua kalinya,
akibat dia menjadi budak membuatnya tidak akan menikah selama hidupnya, dan
hanya akan memberikan cinta seutuhnya pada sang Illahi. Padahal, tidak sedikit
laki-laki yang berupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di
antaranya adalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia
juga seorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kota
Basrah.
Cinta bagi Rabi’ah telah
mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi
bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah
jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridha kepada hamba yang
mencintai Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha
kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari
Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan Nya di dunia dan juga di
akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan
memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.
Dalam kisah lain disebutkan, sahabat
Rabi’ah bernama Hasan al-Bashri bercakap-cakap dengan Rabi’ah perihal
pernikahan. Hasan al-Bashri bertanya “wahai Rabi’ah apakah engkau akan
menikah? kemudian Rabi’ah menjawab “Jika engkau dapat menjawab empat
pertanyaanku, aku pun akan menikah.” Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan
jika Allah mengizinkanku, aku akan menjawab pertanyaanmu.”“Pertanyaan
pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan oleh Hakim dunia ini
saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islam atau murtad?” Hasan
menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yang dapat menjawab”. “Pertanyaan
kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat Malaikat Munkar dan Nakir
menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha
Mengetahui.” “Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang
Mahsyar di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatan
amal di tangan kanan dan di tangan kiri.Bagaimana denganku, akankah aku
menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembali menjawab, “Hanya
Allah Yang Maha Tahu”. “Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan
nanti, sebagian manusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di
kelompok manakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawaban
semula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yang
tersembunyi itu. Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan Al-Bashri, “Aku
telah mengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuami
yang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannya itu
pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.
Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mihrabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur
jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini
dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.
Beberapa masalah yang
dilontarkan Rabi’ah dalam dialog di atas itu termasuk dalam persoalan ghaib
yang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah. Karena itulah, orang-orang yang
hadir pada saat itu terdiam. Sesaat kemudian ia berkata, “ Kami sama sekali
tidak mengerti apa yang engkau maksudkan, wahai Rabi’ah.”Jawab Rabi’ah; “Kalau
aku berdukacita memikirkan hal-hal tersebut, apakah mungkin aku memerlukan
suami. Padahal kenyataannya, bila aku bersuami, sebagian waktuku akan disita
olehnya.
Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah
tak pernah tergoda sedikit pun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai
wafatnya, ia hanya lebih memilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata
ketimbang harus bercinta dengan sesama manusia.
2. Zuhud
Ke zuhudan Rabi’ah
al-Adawiyah sejak kecil sudah memiliki karakter yang tidak begitu banyak memperhatikan
kehidupan duniawi. Hidupnya sederhana dan sangat besar kehati-hatiannya
terhadap makanan apapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya,
Rabi’ah sering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, padahal
andai saja ia bersedia menerima pemberian orang lain, tentu dalam waktu sekejap
ia akan kaya raya karena banyak sekali baik dari para pedagang atau para
hartawan yang ingin membenatu dia, namun mereka selalu kecewa setiap kali
menawarkan hadiah atau bantuan kepada Rabi’ah setiap itu juga Rabi’ah
menolaknya, dan Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya.
Selepas dirinya dari
perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri di sebuah gubuk sederhana di kota
Basrah tempat kelahirannya. Ia meninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya
untuk beribadah kepada Allah. Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari
kehidupan duniawi ini benar-benar ia jalankan secara konsisten.
Aku shalat seakan-akan ini
terkahir kalinya, dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk
lainnya, aku takut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka aku katakan, “Ya
Tuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut Mu, jangan Engkau biarkan
mereka menarikku dariMu.”
Sebagai seorang zahid,
Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agar dihindarkan dari
ketergantungannya kepada manusia. Perjalanan zuhud yang dialami Rabi’ah
tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui. Di depan, banyak tantangan dan
cobaan yang harus ia hadapi. Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena
sebagai manusia, tak mungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipun
demikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yang datang
selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan (faqir), namun
kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayang Allah kepada Rabi’ah.
Dan Rabi’ah menganggap bahwa kefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia
harus terima dengan penuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian
menurut Rabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknya
itu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlah
engkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yang ada
pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”
BAB III
PENUTUP
Rabiah
Al-Adawiyah dilahirkan dalam keadaan yang sederhana, sehingga kesederhanaan itu
selalu melekat pada dirinya hingga dia mencapai dewasa dan menjadi dasar menuju
jalan mahabbah kepada Allah dan menjadikannya sufi wanita yang pertama kali yang
membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi
Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang
dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Selain zuhud, jalan yang ia lakukan juga dengan cara
tidak menikah seumur hidup. Bagi Rabiah al-Adawiyah menikah bukanlah jalan yang tepat untuk melakukan pencarian Tuhan
dan tanpa harus dibebani urusan-urusan keduniawian. Bukan sedikit yang melamar
Rabiah bahkan meminangnya, tapi Rabiah selalu menolak, hingga akhir hayatnya
Rabiah hanya mengagungkan Allah sebagai kekasih yang dicintainya dan ia telah kembali
hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Dialah
perempuan yang selama hidupnya penuh penderitaan, namun tak pernah
bergantung kepada manusia, karena bagi Rabiah Allah adalah segala-galanya.
Konsep cinta menurut Rabiah adalah
jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridha kepada hamba yang
mencintai Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridha
kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari
Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan Nya di dunia dan juga di
akhirat kelak dan dengan jalan itu Rabiah berharap agar Tuhan memperlihatkan
wajah yang selalu dirindukannya.
Bagi kita sebagai generasi Islam
khusunya wanita hendaklah kita meneladani kehidupan Rabiah yang penuh
kesederhanaan dalam menjalani hidup, karena pada dasarnya semua adalah milik
Allah yang sewaktu-waktu pasti akan diambil Nya. Dan janganlah mementingkan
cinta dunia, karena sesungguhnya makna Cinta ialah jalan menuju ilahi dan cinta
sejati kita tentu saja Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan terjemahannya.
Ayu
Tamreen, Perawan
Suci Dari Basrah Rabiah Al-Adawiyah,http://rayhania.abatasa.co.id/post/detail/14924/perawan-suci-dari-basrah-rabiah-al-adawiyah.html, 12 November 2013.
Hoffman, Ivan. 2004. The Tao of Love
Meraih Cinta Sejati. Bandung: Nuansa.
Nasution, Harun. 1986. Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Rabani, Wahid Bakhsh. 2004. Sufisme Islam. Jakarta: Sahara
Publishers.
Rahimah. 2004.Sufi
Wanita Rabi’ah Al-Adawiyah: Mencapai Al-Hubb Al-Ilahi. Medan:
Universitas Sumatra Utara.
Rusland Rahim,
Rabi’ah Al-Adawiyah, http :// archgreenland .blogspot. com/ 2012
/10 / rabiah-al-adawiyah-a.html, 13 November 2013.
Tanpa Nama Pengarang, Konsep Cinta (Mahabbah) dalam Tasawuf, http:// racheedus. wordpress.com /makalahku/konsep-cinta-mahabbah-dalam-tasawuf/ , 11 November 2013.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pertanyaan :
1.
Penanya : Siti Haryati
Kita sebagai muslim ummat Nabi Muhammad SAW adalah mengikuti sunnahnya,
seperti halnya nikah merupakan sunnah Rasul. Dari kisah Rabi’ah Al-Adawiyah
bahwasanya beliau tidak menikah sampai akhir hidupnya. Apakah kita harus
mengikuti Rabi’ah Al-Adawiyah untuk tidak menikah? agar kita mendekatkan diri
pada sang maha pencipta kita yaitu Allah SWT.
2.
Penanya : Ika Rusniawati
Rabi’ah Al-Adawiyah lebih mementingkan kehidupan akhirat atau zuhud,
dibandingkan dengan kehidupan duniawi. Bukankah kita hidup itu harus seimbang
antara dunia dan akhirat?
Jawab
:
1.
Sebagai ummat muslim pengikut ajaran Rasulallah SAW, kita diperintahkan
untuk mengikuti ajarannya bahkan sunnah Rasul sendiri. Menikah adalah salah
satu sunnah Rasul yang harus kita ikuti, jadi bagi kita adalah disunnahkan
untuk menikah karena dengan menikah maka akan melanjutkkan keturunan dan yang
akan melanjutkan dakwah adalah anak cucu kita. Sebagai ummat muslim panutan kita
adalah Allah dan Rasulnya, bukan Rabi’ah Al-Adawiyah sebagai manusia biasa.
Jadi, apapun yang Rasulallah ajarkan hendaklah kita laksanakan. Perintah Rasul
juga perintah Allah SWT. Kita yang lahir
pada zaman modern alangkah lebih baiknya kita menikah, karena untuk menghindari
terjadinya fitnah yang tidak diinginkan. Alasan Rabi’ah Al-Adawiyah tidak
menikah adalah karena dia tidak mau sakit hati untuk yang kedua kalinya. Ketika
dia menjadi seorang budak, maka dia harus melayani tuannya apapun yang tuannya
inginkan maka ia harus memberinya bahkan kehormatannya pun. Sejak itulah,
ketika Rabi’ah Al-Adawiyah dibebaskan oleh tuannya maka sisa hidupnya ia
berikan untuk sang maha pencipta yang sangat ia sayangi dan sangat ia cintai
yaitu Allah SWT, cinta Rabi’ah kepada Allah SWT tiada duanya dan takkan terbagi
oleh cinta apapun hingga ia memilih tidak menikah dalam hidupnya. Dan, yang
namanya rasa adalah subyektif, tergantung kondisi orangnya yang dipengaruhi
oleh tingkat pengetahuan, keimanan, pengalaman batin, ruhani, dan sebagainnya.
2.
Sebagai manusia hendaklah kita hidup seimbang antara dunia dan akhirat.
Namun, dalam kehidupan di dunia hendaklah kita tanamkan hidup zuhud. Berbeda
dengan Rabi’ah Al-Adawiyah yang sudah menyandang gelar sufi, sebagai seorang
sufi yang tidak mementingkan kehidupan di dunia karena hidup di dunia adalah
kehidupan yang sementara, sedangkan hidup yang kekal adalah kehidupan akhirat. Sebagai
seorang zahidah sejati Rabi’ah Al-Adawiyah memeluk erat kemiskinan demi
cintanya kepada Allah SWT, lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Karena
definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Tuhannya.
[1]Ibn Khalikan, Wafayat
Al-A’yan, (Kairo:Tanpa Penerbit,1299 H), hal. 227.
[2] Wahid bakhash
Rabbani, Sufisme Islam, (Jakarta: Sahara Publisher, 2004), cet. 1, hal.
283.
[3]Ibid.,
[4]Iibid.
[5]Al-Qur’an Surat Al-Imran : 31
[6]Ivan Hoffman, The Tao of Love Meraih Cinta Sejati, (Bandung: Nuansa, 2004), Cet 1, hal.
85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar