Selasa, 06 Januari 2015

Essensialisme, Guru dan Aktivitasnya


https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5754614688187837443#editor/target=post;postID=8757212402392065212


Esensialisme, Guru dan Aktivitasnya
Esensialime adalah aliran filsafat yang berkembang sekitar abad 11. 12. 13, dan ke 14 Masehi, terutama berkembang pada zaman Renaissance. Renaissance merupakan reaksi terhadap tradisi dan sebagai puncak timbulnya individualisme dalam aspek berpikir dan bertindak dalam semua ranah aktivitas manusia. Pada zaman ini muncul pandangan-pandangan esensialistis awal dan berkembang dengan megahnya usaha-usaha untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan kesenian serta kebudayaan purbakala, terutama di zaman Yunani dan Romawi purbakala. Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Esensialisme modern pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes terhadap skeptisisme dan sinisme dari gerakan progresivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya / sosial. Esensialisme dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme yaitu dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, dimana terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Bagi aliran ini “Education as Cultural Conservation”, Pendidikan Sebagai Pemelihara Kebudayaan. Karena itu Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama serta terseleksi sehinga memberikan kestabilan dan arah yang jelas. Esensialisme menginginkan pendidikan kembali pada kebudayaan lama yaitu pendidikan haruslah bersendikan atas nilai-nilai yang dapat mendatangkan kestabilan, pendidikan itu harus didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia misalnya kedisiplinan, kejujuran, keadilan dan sifat tanggungjawab.
Selama ada kebudayaan dalam kehidupan manusia, filsafat merupakan suatu bagian dari kebudayaan itu. Kebudayaan manusia tidak hanya satu, melainkan banyak dan saling berdampingan serta berturut-turut[1]. Maka dari itu, Esensialisme menekankan bahwa pendidikan kembali pada kebudayaan lama, karena kebudayaan lama tidak hanya menuliskan buah pikiran tetapi juga berupa tanya jawab secara lisan[2].
Corak Esensialisme dibentuk dari aliran filsafat Idealisme dan Realisme. Salah satu peran Realisme modern yaitu menjadi salah satu eksponen esensialisme, titik berat tinjauannya adalah mengenai alam dan dunia fisik; sedangkan idealisme modern sebagai eksponen yang lain, pandangan-pandangannya bersifat spiritual. Idealisme modern mempunyai pandangan bahwa realita adalah sama dengan substansi gagasan-gagasan (ide-ide). Dengan menguji menyelidiki ide-ide serta gagasan-gagasannya, manusia akan dapat mencapai kebenaran, yang sumbernya adalah Tuhan sendiri.
Idealisnya, para tokoh mengemukakan ciri-ciri realism dan idealism yaitu menurut John Deonal Butler bahwa ciri dari realisme dan idealisme yaitu : Alam adalah yang pertama-tama memiliki kenyataan pada diri sendiri dan harus dijadikan pangkal berfilsafat. Kualitas-kualitas dari pengalaman terletak pada dunia fisik dan disanalah terdapat sesuatu yang menghasilkan penginderaan persepsi-persepsi yang tidak semata-mata bersifat mental.
Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah sebagai berikut :
1.       minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2.        pengawasan pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies manusia.
3.        Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4.        esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan, sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang lemah.
Selain itu, pola dasar aliran Esensialisme menurut para tokoh yaitu Desidarius Erasmus,  humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke 15 dan permulaan abad ke 16 adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yanag berbijak pada “dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan bersifat internasional, sehingga dapat diikuti oleh kaum tengahan dan aristokrat, Johann Amos Comeniuc (1592-1670) adalah tokoh Reinaissance pertama yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran, pandangannya ialah realis yang dogmatis, dan karena dunia ini dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikaan adalah membentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan, Johann Frederich Frobel (1782-1852), seorang tokoh transendental dengan corak pandangannya bersifat kosmissintetis dan manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, dalam ranah pendidikan ia memandang anak sebagai makhluk berekspresi kreatif, dan tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik kearah kesadaran diri sendiri yang murni, sesuai fitrah kejadiannya, William T. Harris (1835-1909) pengikut Hegel, berusaha menerapkan Idealisme Obyektif pada pendidikan umum. Menurut dia bahwa tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada masyarakat, dll. Pandangan Esensialisme terhadap pendidikan bersifat umum, simplikatif dan selektif. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh tokoh William T. Harris.
Pendidikan tidak terlepas dari suatu nilai yang merupakan pondasi kehidupan, maka esensialisme juga berpandangan terhadap nilai bahwa seperti halnya pengetahuan berakar pada dan diperoleh dari sumber-sumber objektif, sedangkan sifat-sifat nilai tergantung dari pandangan yang timbul dari realisme dan idealisme. Dalam pandangan realita, berpandangan sifat yang menonjol dari ontologi esensialisme adalah suatu konsepsi bahwa dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela, yang mengatur dunia beserta isinya dengan tiada cela pula, ini berarti bagaimanapun bentuk, sifat, kehendak dan cita-cita manusia haruslah disesuaikan dengan tatanan tersebut. Hal ini diperkuat dengan Realisme objektif dan Idealisme objektifnya.
Dalam kajiannya mengenai pengetahuan Esensialisme berpandangan bahwa  pada kacamata realisme masalah pengetahuan ini, manusia adalah sasaran pandangan sebagai makhluk yang padanya berlaku hukum yang mekanistis evolusionistis. Sedangkan menurut idealisme, pandangan mengenai pengetahuan bersendikan pada pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang adanya merupakan refleksi dari Tuhan dan yang timbul dari hubungan antara makrokosmos dan mikrokosmos.
Pendidikan juga tidak dapat dipisahkan dengan aspek belajar dan kurikulum. Maka, Esensialisme memiliki pandangan terhadap belajar yaitu menurut pandangan Immanuel Kant (1724-1804) dijelaskan bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia lewat indera memerlukan unsur a priori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu, Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental, bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah tertentu yang diatur oleh alam. Berarti bahwa pendidikan itu adalah sosial. Sedangkan dalam aspek kurikulum Herman Harrell Horne menulis dalam bukunya yang berjudul This New Education mengatakan bahwa hendaknya kurikulum itu bersendikan atas fundamental tunggal, yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri masyarakat yang ideal, Bogoslousky, dalam bukunya The Ideal School, mengutarakan supaya kurikulum dapat terhindar dari adanya pemisahan mata pelajaran yang satu dengan yang lain, kurikulum diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian : Universum, Sivilisasi, Kebudayaan, dan Kepribadian.
Teori kepribadian manusia sebagai refleksi Tuhan adalah jalan untuk mengerti epistemologi esensialisme. Sebab jika manusia mampu menyadari realita scbagai mikrokosmos dan makrokosmos, maka manusia pasti mengetahui dalam tingkat atau kualitas apa rasionya mampu memikirkan kesemestiannya.
Jadi, tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia didunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi esensialisme merupakan semacam miniatur  dunia yang bisa dijadikan sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan.
Tujuan pendidikan adalah aktivitas menyampaikan warisan budaya melalui suatu inti pengetahuan yang saling terhimpun, dan telah bertahan sepanjang waktu. Pengetahuin ini diiringi oleh keterampilan-keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang tepat sehingga terbentuk esensial pendidikan. Pendidikan bertujuan untuk mencapai standar akademik yang tinggi, dan pengembangan intelektual atau kecerdasan. Dalam pendidikakn tidak terlepas dari unsur-unsur yang membentuk sistem pendidikan itu seperti metode pendidikan, kurikulum pendidikan, pelajar sendiri dan pengajar. Bila orang berhasil memaparkan peristiwa-peristiwa kasar (peristiwa-peristiwa yang diamati dalam laboratorium) dengan semurni-murninya dalam kalimat-kalimat protokol, maka inilah yang menjadi pokok permulaan tentu dari segala pengetahuan/ pendidikan[3].
Pada prinsipnya, proses belajar menurut Essensialisme adalah melatih daya jiwa potensial yang sudah ada dan proses belajar sebagai proses absorbtion (menyerap) apa yang berasal dari luar. Yaitu warisan-warisan sosial yang disusun dalam kurikulum tradisional, dan guru berfungsi sebagai perantara. Sekolah berperan sebagai pendidikan warganegara agar hidup sesuai dengan prinsip kehidupan dan lembaga-lembaga sosial yang ada di dalam masyarakatnya serta membina kembali tipe dan mengoperkan kebudayaan, warisan sosial, dan membina kemampuan penyesuaian diri individu kepada masyarakatnya dengan menanamkan pengertian tentang fakta-fakta, kecakapan-kecakapan dan ilmu pengetahuan.
Kebudayaan menurut Essensialisme sebagai teori pendidikan dan kebudayaan melihat kenyataan bahwa lembaga-lembaga dan praktik-praktik kebudayaan modern telah gagal dalam banyak hal untuk memenuhi harapan zaman modern. Maka untuk menyelamatkan manusia dan kebudayaannya, harus diusahakan melalui pendidikan. Pendidikan menurut Essensialisme adalah membantu peserta didik berpikir rasional, tidak terlalu berakar pada masa lalu, memperhatikan hal-hal yang kontemporer, memuatkan keunggulan, bukan kecukupan pemilikan nilai-nilai tradisional.
Dalam menopang peradaban (kebudayaan) bangsa, kekuatan pendidikan merupakan hal yang utama. Bangsa yang beradab tentunya selalu memberikan space khusus untuk pendidikan. Antara pendidikan dan peradaban adalah hal yang berbanding lurus. Semakin banyak ruang untuk pendidikan maka semakin tinggi peradaban yang akan diukir. Sebaliknya, peradaban yang lemah karena pendidikan tidak mempunyai ruang yang memadai. Oleh karena eratnya kaitan antara kedua hal ini, maka keduanya ibarat dua sisi mata uang. Satu sama lain tidak akan terpisahkan. Generasi-generasi yang telah mengukir peradaban dalam sejarah manusia selalu mempunyai nilai-nilai untuk dikagumi. Bahkan tak cukup dikagumi, ia haruslah diteladani untuk membangkitkan peradaban manusia kembali. Tak kalah penting,peradaban yang maju tidak akan melewatkan generasinya hidup tanpa bimbingan ilmu. Ia tentu akan menyediakan sarana bagi penuntut ilmu dalam memuaskan dahaga ilmunya.
Sekolah, sebagai lingkungan kedua, turut mempengaruhi konsep diri, keterampilan sosial, nilai, kematangan penalaran moral, perilaku prososial, pengetahuan tentang moralitas, dan sebagainya (Berkowitz, 2002). Adanya ikatan yang kuat dengan sekolah dan komunitasnya, termasuk juga kelekatan dengan guru, merupakan dasar bagi perkembangan prososial dan moral anak. Hawkins, dkk. (2001) menyatakan bahwa seorang anak akan menerapkan sebuah standar atau norma bila standar tersebut jelas dan disertai dengan adanya ikatan emosi, komitmen, dan kelekatan dengan sekolah. Dalam hal ini, sekolah perlu memiliki atmosfir moral dalam rangka meningkatkan tanggung jawab dan mengurangi pelanggaran di sekolah (Brugman, dkk., 2003). Di lingkungan sekolah, tentu saja anak mengalami perluasan aktivitas. Relasi dengan teman sebaya pun akan membawa dampak terhadap pembentukan karakter anak. Hubungan emosi yang kuat dan aktivitas bermain merupakan mediator bagi anak untuk mengembangkan karakter mereka (Dunn & Hughes, 2001; Howe, dkk., 2002; Killen, dkk., 2001; Theimer, dkk., 2001).
Terminologi pendidikan memang berbeda dengan pengajaran. Perbedaan tersebut terletak pada ranah yang ‘disentuh’ oleh pendidikan dan pengajaran. Dalam terminologi pengajaran maka guru hanya memberikan ilmu sebatas dalam ranah pengetahuan (cognitive) kepada muridnya. Sedangkan dalam terminologi pendidikan maka guru memberikan ilmu dalam ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap (attitude) dan tindakan (action). Hal tersebut sebenarnya berdasarkan pemikiran filosofis dari Aristoteles (filusuf Yunani) yang mempunyai prinsip soul & body dualism, yaitu manusia hakikatnya terdiri dari dua elemen dasar, yaitu rohani dan ragawi. Oleh karena itu, pendidikan tidak hanya memberikan ‘asupan’ untuk raga (dalam hal ini direpresentasikan dengan otak) tetapi juga ‘asupan’ untuk rohani berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.
Dengan demikian, unsur pendidikan yang menentukan keberhasilan siswanya ialah bagaimana pengajarnya mengajarkan dan menyampaikan materi serta guru dijadikan sebagai teladan para siswa. Guru dikatakan sebagai parameter keberhasilan siswa. Bagaimana guru dapat mengarahkan siswanya agar dapat memfilter nilai-nilai budaya luar yang masuk akibat tajamnya arus globalisasi dan mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain memahami karakter pendidikan dan pendidik serta kebudayaan (peradaban), guru harus mampu menanamkan hal-hal yang diajarkan oleh agama dan mengimplementasikannya tanpa menghiraukan kemajuan IPTEK.




DAFTAR PUSTAKA

(2013). Aliran Filsafat Pendidikan Esensialisme (online). http://novasuntiayusni.blogspot.com/2012/12/aliran-filsafat-pendidikan-esensialisme.html. (12 Oktober 2014).
Anna, Nur.(2014).Filsafat Pendidikan Essensialisme (online). http://anannur.wordpress.com/2010/07/08/filsafat-pendidikan-essensialisme/. (13 Oktober 2014).
Beerling, R.F. (1961). Filsafat Dewasa Ini. Jakarta:Dinas Penerbitan Balai Pustaka.
Brugman, D., Podolskij, A. J., Heymans, P. G., Boom, J., Karabanova, O., & Idobaeva, O. (2003). Perception of moral atmosphere in school and norm transgressive behavior in adolescents: An intervention study. International Journal of Behavioral Development, 27, 289–300.
Burhanudin, Arif. (2011).Filsafat Esensialisme Dalam Pendidik (online). http://afidburhanuddin.wordpress.com/2013/11/07/filsafat-esensialisme-dalam-pendidikan/. (13 Ooktober 2014).
M. Ghazali Bagus Ani Putra. Membangun Peradaban Bangsa dengan Pendidikan Berkarakter Moral (online). http://pks.psikologi.unair.ac.id/coretan-kami/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-moral. (19 Oktober 2014)
Ngeblog, Kahar. (2012). Aliran Esensialisme dalam Filsafat Pendidikan (online). http://kumpulanmakalahdanartikelpendidikan.blogspot.com/2011/01/aliran-esensialisme-dalam-filsafat.html. (10 Oktober 2012).
Nurfadli,Muhammad. (2013). Peradaban dan pendidikan (online). http://edukasi.kompasiana.com/2013/01/02/peradaban-dan-pendidikan-520982.html (18 Oktober 2014).














[1]Beerling R.F, Filsafat Dewasa ini. (.Jakarta: Dinas PenerbitanBalai Pustaka, 1961), cet.  3.  hal.12.
[2] Ibid.
[3]Beerling R.F, Filsafat Dewasa ini. (.Jakarta: Dinas PenerbitanBalai Pustaka, 1961), cet.  3.  hal.93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar