Yuukk kita intip coretan inih. agar pengetahuan kita nambah... harus tauu lohhh budaya yang ada di Indonesia apalagi dengan daerahnya sendirii..
Selamat menikmati.. :)
Baduy Of Banten
Yah... salah satu suku yang ada di daerah Banten sejak dahulu yaitu Baduy. Suku Baduy yangterkenal dengan kekonsistenannya pada kepercayaan dari dulu hingga sekarang. Masyarakat Baduy terbagi menjadi dua yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam merupakan mayarakat Baduy yang masih taat memegang kpercayaanya dan belum terkontaminasi dengan kebudayaan-kebudayaan yang lainnya bahkan baduy dalam masih memegang teguh menjaga kelestarian alam. Masyarakat fdari luar tidak dapat menjadi anggota baduy dalam, tetapi masyarakatbaduy dalam bisa keluar dan tidak akan diterima kembali menjadi penduduk baduy dalam jka sudah melanggar aturan dan kepercayaan yang dipercayainya.berbedadengan Baduy Luar yang sudah mengikuti arus zaman modern,mereka sudah banyak yang menganut agama Islam dan sudahmengenal teknologi yang sedang berkembang.
Asal-Usul Baduy
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan
dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke
bumi. Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para
ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari
beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut
Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang
cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa
ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan
pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari
berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi
dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang
disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai
perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara
kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut.
Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih
mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut
(Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan
bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja
ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri
dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada
tahun 1928, menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah
penduduk asli daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap
pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak
jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda
(1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan
mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya
berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek
moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan
(wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka
pun diberi nama Sunda Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy
sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Kepercayaan
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu.
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau
ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang
Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes
tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan
sesedikit mungkin:
- Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian,
bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi
ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah
lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu
yang diruncingkan. Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah
dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes seringkali
tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos,
tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar.
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas,
yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes
mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada
bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un
atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja
yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas
tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada
saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh
air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda
bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan
berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair
keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).
Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani. karena beratus-ratus tahun mereka dekat dengan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar